rpm-ftui

27/12/2016 10:47 Authored By: Administrator

Siapa yang tidak mengetahui manfaat propolis? ‘Ramuan’ yang dihasilkan oleh lebah ini memiliki berjuta manfaat. Sayangnya, potensi propolis di Indonesia belum tergali lebih jauh. Terutama penelitian yang berkaitan dengan propolis. Untuk menggali potensi propolis dalam kaitannya terhadap penelitian, terutama protein engineering, maka tim labsatu.com berbincang dengan pakar propolis Indonesia pada Kamis (21/07/2016) lalu.

Paska menamatkan studi S2 dan S3 dibidang protein engineering di Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Jepang. Peneliti yang aktif mengajar di Teknik Kimia UI ini, mulai berkecimpung sebagai peneliti pada tahun 2010. Tim labsatu.com bertemu dengan alumnus S1 Kimia ITB ini di Gedung Alumni FKUI, Salemba.

Siapakah dia? Peneliti yang meraih 8 hak paten ini adalah Dr. Muhamad Sahlan. Selain berhasil mendapatkan hak paten, Dr. Sahlan juga berhasil mendapatkan berbagai penghargaan dan mempublikasikan jurnal internasional. Diantara jurnal yang dipublikasikannya adalah berjudul “Efficient Expression of Recombinant Soluble Apoptin in Escherichia coli and Bacillus subtilis” dan “Encapsulation of Indonesia Propolis by Casein Micelle”.

Doktor yang ramah ini mengatakan bahwa dirinya mengambil dua fokus background yaitu natural productdan protein engineering. Berikut wawancara labsatu.com dengan bapak Sahlan.

 

Mengapa Pak Sahlan tertarik dengan natural product dan protein engineering?

Salah satu challenging yaitu ketika masuk ke UI, saya tidak ingin melakukan riset apa yang sudah di S2 dan S3 lakukan. Pada saat itu, saya berpikir bahwa kita harus punya kepakaran sendiri yang bersifat new. Minimal baru di Indonesia. Maka saya memilih 3 fokus waktu itu yaitu tentang apoptin yang idenya didapat dari Dr. Hafiyono dari UNS. Beliau menawarkan gen-gen menarik, salah satunya apoptin ini.

Kenapa apoptin menarik? Karena apoptin lebih aplikatif dan jika berhasil maka bisa menjadi obat antikanker yang spesifik ke sel kankernya saja tidak menyerang sel normal.

Kemudian karena di Indonesia lebih banyak diminta product base, produknya apa, inovasinya apa, maka berpikir harus punya yang shortterm. Oleh karena itu saya pilih produk-produk perubahan seperti memanfaatkan kasein susu dan propolis. Karena di Al Quran sudah jelas jaminannya (tentang lebah dan apa yang dihasilkannya, -red), kita tinggal diminta untuk mengeksplorasi saja. Apalagi di Indonesia yang masih hidden resources. Banyak tapi belum diidentifikasi.

Selain itu saya juga tertarik dengan dunia nano. Prediksi saya, kedepan yang akan berpotensi besar itu ada IT, nano dan biotek. Kalau IT kan sudah common technology. Jadi saya mengambil dua bidang lainnya yaitu nano dan biotek.

Jadi selama S1 teknik kimia, penelitian atau percobaan saya tentang apoptin selalu di luar. Kerjasama dengan berbagai instansi seperti bppt, farmasi dan lain-lain. Semua gak ada di laboratorium saya (lab teknik kimia, -red) karena tidak ada alat-alatnya.

Nah, apa yang bisa kita kerjakan di laboratorium? saya berpikir keras saat itu akhirnya muncul ide nano herbal dengan menggunakan enkapsul protein. Dan kebetulan juga ada hadits Rasul yang mengatakan bahwa hewan yang memakan dedaunan menghasilkan susu yang dapat dijadikan sebagai obat.

ni ‘kan jadi pertanyaan besar, kenapa bisa jadi begitu? Dan ternyata beberapa peneliti yang kebanyakan dari Israel, menemukan bahwa kasein itu sebagai zat karier. Jadi senyawa aktifnya itu ada di kasein itu. Semakin bagus makanannya maka semakin bagus kandungan susu atau protein susunya.

Nah makanya sekarang kita balik. Kita ambil protein susunya dan kita jadikan zat delivery. Nah itu latar belakang kenapa saya memilih fokus pada tiga hal tersebut.

Tapi sekarang penelitian apoptin tengah ditunda karena kita harus punya partner dan tidak bisa hanya sampai uji praklinis. Artinya itu produk yang mubazir karena tidak jadi apa-apa. Sekarang yang lagi ‘on’ di dua lainnya.

Untuk nano teknologi, beberapa artikel tentang nano teknologi sudah banyak di-disertasi oleh orang-orang. Artinya ini ‘kan memang keterbaruannya cukup dan biasanya untuk zat delivery itu single molekul. Nah karena di Indonesia ini banyak herbal, maka saya larinya ke herbal.

Kemudia challenging kedua adalah bagaimana hasil lab ini agar tidak terhenti di lab saja, tapi bagaimana caranya bisa inisiasi ke pasar. Masuk ke masyarakat. Maka yang dilakukan adalah kita memakai yang shortterm tadi, yaitu propolis. Saya memulainya dari propolis. Kita cari pattern-nya apa, nah kita perbaharui.

Yang selanjutnya adalah tentang resources kita. Selama ini bahan baku propolis yang ada di Indonesia, hampir 85% berasal dari luar seperti dari Brazil, Cina dan Italia. Sedangkan di Indonesia tidak ada. Ini membuat saya berinisiatif untuk masuk lebih jauh. Mulai dari asosiasi-asosiasi, masuk ke daerah dan wilayah, peternak-peternak lebah.

Dari sini diketahui bahwa kita harus masuk sampai dalam karena kita bisa salah sampel dan persepsi kalo kita hanya tahu bahan bakunya lalu diekstrak dan selesai saja. ‘Kan bahan bakunya juga harus tahu asal muasalnya dari mana. Jadi dari mulai teknologi ekstraksinya sampai ke asalnya dari mana. Bahkan sekarang saya sudah berternak lebah sendiri.

Jadi kita mengembangkan dari energi ekstraksi dan membuat berbagai macam inovasi produk. Lalu kita harus kerjasama dengan pengguna. Nah dari situ, alhamdulillah setidaknya ada 8 paten. Misalnya kerjasama dengan kedokteran gigi yang punya banyak ide. Bagaimana caranya meremineralisasi gigi dengan memanfaatkan propolis dicampur dengan apa? Kemudian lahirlah permen untuk kesehatan mulut, gigi dan anak.

Berangkat dari hasil paten ini, saya berpikir untuk membentuk startup company yang dinamakan CV. Nano Biotek supaya semua hasil paten bisa diakomodir. Karena berbeda dengan di luar negeri yang ketika ada paten maka banyak yang berburu untuk produksi. Sedangkan di Indonesia, biasanya paten hanya untuk keperluan Cum (penilian cum laude, -red) saja. Tindak lanjutnya kurang.

Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.

Sumber: www.labsatu.com