27/12/2016 09:43 Authored By: Administrator
ARSITEKTUR tidak selamanya berbicara tentang bangunan. Namun, mencakup pula aspek lingkungan hidup, kehidupan sosial hingga aktivitas suatu komunitas. Perpaduan ini tampak dalam pameran Menggapai Tongkat Cakrawala yang digelar pada Senin-Minggu (14-20/3) di Museum Nasional, Jakarta, oleh Ikatan Mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia (UI).
Pameran yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi ini menampilkan keunikan-keunikan Suku Korowai, Papua, yang diteliti para mahasiswa sejak Juli-Agustus 2015 dalam perjalanan "Ekskursi Arsitektur UI". Hasil riset itu dituangkan dalam seni dan arsitektur melalui medium foto, maket, sketsa, hingga film.
Rumah pohon sebagai kekayaan budaya arsitektur Suku Korowai, yang terletak di bawah Pegunungan Bintang, Papua, menjadi sorotan utama. Kepala Departemen Arsitektur Universitas Indonesia Yandi Andri Yatmo mengatakan, Suku Korowai memiliki pengaruh terhadap dunia arsitektur Indonesia. "Karena (Suku Korowai) memiliki cara sendiri dalam mendefinisikan ruangan, di mana kental akan keterkaitannya terhadap budaya. Oleh karena itu, mahasiswa kami berupaya menjelaskannya dalam bentuk gamblang melalui pameran ini," tutur Yandi.
Pameran juga mengadakan rangkaian talkshow dan seminar yang akan ditutup dengan forum diskusi terkait dengan peranan mahasiswa arsitektur dalam pelestarian budaya Indonesia. Dengan pameran Menggapai Tonggak Cakrawala, diharapkan Departemen Arsitektur UI dapat memperkenalkan dan mengangkat diskusi yang fokus pada kekayaan budaya Indonesia.
Perjalanan (ekskursi) mahasiswa ke Suku Korowai merupakan sebuah upaya pendokumentasian. Dengan membawa semangat #KenaliNegerimu, para mahasiswa hendak mengajak publik mengenali potensi daerah-daerah di Indonesia.
Perjalanan tersebut bukanlah darmawisata, namun meneliti sosial budaya, lingkungan hidup, dan arsitektur vernakular (arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat, yang lahir dari masyarakat etnik).
Program ekskursi yang dijalani mahasiwa Arsitektur UI tersebut telah berjalan sejak 1970 dan menjadi tradisi tahunan mulai 1997. Pencetus program ini adalah Prof Gunawan Tjahjono, Guru Besar Arsitektur UI.
Pada dasarnya, ekskursi dan pameran bertujuan untuk mencatat arsitektur yang bisa saja hilang akibat modernisasi. "Saat ini, pencatatan arsitektur memang tidak lengkap. Mahasiswa kami saja butuh waktu 45 hari untuk mencatat lengkap dalam lingkup Suku Korowai; bukan hanya arsitektur, tapi juga budaya dan kehidupan," ucap Yandi.
Ia menambahkan, kerja pencatatan arsitektur sendiri harusnya melibatkan semua pihak yang hendak menjadikan Indonesia sebagai bangsa berpengetahuan. Termasuk, profesi lain yang memiliki kewajiban untuk mengeksplorasi kekayaan budaya lokal.
Kementerian Pariwisata mendukung ekskursi mahasiswa lantaran program tersebut sesuai dengan prinsip dasar pengembangan pariwisata. "Pariwisata kan selalu menanyakan hal baru. Siapa pun bisa menangkapnya, kebetulan saat ini dalam bidang aristektur yang mengungkap tentang bangunan," ujar Asisten Deputi Pengembangan Segmen Pasar dan Pemerintah Kementerian Pariwisata Tazbir saat pembukaan pameran, Senin (14/3).
Tazbir menyayangkan jika kekayaan lokal perlahan menghilang. Ia pun berharap kegiatan serupa bisa rutin dijalankan tiap tahun. "Cara ini menjadi cara mengenalkan potensi kekayaan Indonesia ke publik," tuturnya..
Suku Korowai
Dalam rangka ulang tahun ke-50 Departemen Arsitektur UI, panitia menghadirkan napak tilas ekspedisi para senior dalam program ekskursi. Dari perjalanan ke Alor, Jambi, sampai Sumba turut dipamerkan dalam bentuk dokumentasi foto dan maket arsitektur tradisional beberapa daerah.
Dan, terakhir adalah ekskursi ke Suku Korowai. Kanya Pratita, salah satu Tim Advance Ekskursi UI, menyatakan, butuh lebih dari dua hari melalui jalur udara, darat, dan air untuk mencapai lokasi Suku Korowai. "Berangkat dari Jayapura dengan pesawat Trigana menuju Dekai selama 50 menit, lalu ke Pelabuhan Lopon untuk melanjutkan perjalanan sungai dengan longboat selama tujuh jam. Sementara perjalanan hutan menghabiskan dua hari, titik bermalam di Kampung Brazza dan hutan Bumahai," ujar mahasiwa Arsitektur UI angkatan 2012 itu.
Suku Korowai baru ditemukan pada 1970. Mereka hidup secara singular (bersama kelompok yang disebut family atau fam) dan tersebar ke tiap dusun atau boluf. Dusun menjadi tempat hidup Suku Korowai secara turun-temurun yang diberi batas berupa bentang alam seperti kali atau sungai.
Kanya menuturkan, dusun tersebut lebih tradisional dibandingkan kampung. Salah satu dusun yang disinggahi adalah Wahonom. Di sanalah, mahasiswa menemukan masyarakat yang masih tinggal di atas pohon. Suku Korowai membuat rumah pohon untuk menghindari pijakan tanah yang masih didominasi rawa.
Untuk membuat rumah, Suku Korowai terbiasa menyelesaikannya sendiri dalam kurun waktu 2-7 hari dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. Tidak ada jenis tertentu, namun biasanya masyarakat menggunakan pohon yang memiliki diameter satu meter. "Untuk atap biasanya pakai daun sagu, sementara dindingnya menggunakan pelepah sagu atau kulit kayu dan lantai harus kulit kayu. Satu rumah bisa bertahan hingga tiga tahun," tutur Kanya.
Hal menarik lainnya, Suku Korowai terbiasa membagi area rumah berdasarkan jenis kelamin. Sementara perempuan berada di sisi barat, laki-laki harus menempati posisi timur. Meski belum ada literatur yang menyebutkan dasar pembagian secara pasti, tiap rumah telah mengaplikasikan sekat ini.
Dalam pameran, dihadirkan maket yang menampilkan bagian dalam rumah pohon. Tidak ada sekat kokoh berupa dinding, melainkan tiang yang ditancap ke tanah. Tiap rumah, harus memiliki beberapa tungku yang keberadaannya disesuaikan dengan jumlah keluarga. Selain untuk masak, tungku tersebut juga dimanfaatkan untuk menghindari rumah dari kelapukan.
Seiring waktu, tidak sedikit pula Suku Korowai yang mulai mendirikan hunian mendekati tanah. Dulu mereka bisa membangun rumah hingga puluhan meter, sekarang hanya berkisar 6-8 meter. "Tapi, belakangan hanya beberapa keluarga dari Suku Korowai yang bertahan di Wahonom, selebihnya pindah ke dusun lain," tutur Kanya.
Selain rumah pohon, Suku Korowai juga kerap membuat bangunan untuk keperluan lain. Misalnya saja rumah gill untuk area pesta ulat sagu serta rumah bagi perempuan yang hendak melahirkan. Menariknya, rumah ini hanya bisa digunakan untuk satu perempuan dan tidak dapat digunakan kembali.
Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.
Sumber: www.harnas.co