27/12/2016 07:13 Authored By: Administrator
Dengan berbagai macam modul, program kegiatan belajar ini hadir untuk menumbuhkan kreativitas dan meningkatkan pemahaman serta kecintaan terhadap lingkungan sejak usia dini dengan menerapkan konsep-konsep ilmu arsitektur.
Puluhan anak-anak dari usia tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) berkerumun membentuk kelompok-kelompok kecil di dalam salah satu lobi sebuah mal di kawasan Tangerang Selatan beberapa waktu yang lalu. Mereka tampak antusias mengikuti kegiatan yang dibimbing oleh satu mentor dalam setiap kelompoknya.
Dengan menggunakan bahan-bahan sederhana, seperti kardus bekas kemasan makanan ataupun pasta gigi, anak-anak ini diarahkan untuk belajar membangun sebuah kota lestari. Mereka bebas mengembangkan daya imajinasi serta kreativitasnya masing-masing dengan membentuk bangunan dan unsur-unsur yang ada di dalam sebuah kota.
Proses pembelajaran dan pembuatannya dimulai dari konsep diri sendiri. Anak-anak dibimbing oleh mentor untuk berdiskusi dalam membuat mind mapberdasarkan pemikiran dirinya sendiri, untuk kemudian menelusuri kebutuhan manusia dan bagaimana cara memenuhinya.
Kegiatan itu merupakan salah satu dari sekitar lima belas modul program Architecture for Kids yang dibuat oleh pasangan akademisi Universitas Indonesia yaitu Yandi Andri Yatmo, S.T., M.Arch., Ph.D. dan Paramita Atmodiwirjo, S.T., M.Arch., Ph.D..
Program kegiatan yang dimulai sejak tahun 2006 ini, didasari oleh kekhawatiran dosen yang akrab disapa Yandi dan Mitha ini terhadap kreativitas anak-anak Indonesia yang mereka nilai masih belum optimal. Selain itu, program Architecture for Kids dikembangkan karena mereka berpikir akan pentingnya mengajari anak-anak tentang lingkungan dan upaya pelestariannya.
“Kami melihat adanya peluang mengajak anak-anak Indonesia untuk berkreativitas melalui ilmu arsitektur. Selama ini pendidikan kreativitas di tanah air hanya terbatas pada menggambar. Ketika gambar yang dibuat siswa tidak sesuai dengan konsep yang diinginkan gurunya, maka nilainya jelek. Padahal tidak seharusnya seperti itu. Karena kreativitas itu tidak dapat diukur dengan peraturan yang sangat ketat,” ujar Yandi.
Untuk mendukung misi dalam membangun kreativitas anak-anak, mereka memiliki bermacam-macam modul dan cara belajar melalui topik-topik menarik seperti tentang air, rumah sehat, dan tentang kota. Cara pembelajarannya pun melalui metode observasi yaitu anak-anak diajak untuk mengamati kondisi lingkungan di sekitar mereka. Kemudian, hasil pengamatan mereka tersebut menjadi landasan bagi ide yang lebih besar.
Contohnya, Yandi dan Mitha menjelaskan bahwa modul kegiatan “kota lestari” mengajarkan bagaimana daur hidup manusia dan prosesnya. Anak-anak tidak hidup sendiri. Mereka dilingkupi sebuah jaringan yang saling mendukung.
“Pemahaman mengenai hal tersebut penting untuk anak-anak. Dengan demikian, mereka dapat memahami mengapa kita hidup itu membutuhkan air, hutan, mengapa laut harus ada dan tidak boleh tercemar. Karena menurut kami, hal tersebut merupakan ide sesungguhnya yang diperlukan oleh anak-anak. Pada waktu mereka mengetahui, maka mereka akan mulai menghargai kehadiran lingkungannya,” jelas Mitha.
Architecture for Kids selalu menggunakan bahan-bahan bekas seperti kardus, kotak pembungkus pasta gigi ataupun bahan bekas lain sebagai media pembelajarannya. Hal tersebut sekaligus mengajarkan kepada anak-anak untuk menggunakan kembali barang bekas. Selain itu, program ini juga mengajarkan tentang kerja sama dengan teman-temannya untuk menghasilkan sebuah kota ataupun penyelesaian permasalahan lainnya.
“Pemikiran untuk memanfaatkan material bekas yang ada di sekitar mereka (anak-anak) itulah yang ingin kami kembangkan. Dengan demikian, kreativitas mereka pun muncul. Diharapkan dengan metode pembelajaran tersebut, anak-anak menjadi lebih kritis terhadap kondisi di sekitarnya, kemudian berani untuk kreatif dan berani untuk berbuat,” ujar Yandi dan Mitha.
Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.
Sumber: majalahasri