rpm-ftui

27/12/2016 19:22 Authored By: Administrator

Dunia ini riuh penuh cerita sukses dari mulut ke mulut bagaimana komputer kian mengecil dan makin digdaya mengikuti Hukum Amdahl, mengubah gaya hidup dan cara bekerja sebagian besar penduduk dunia. Inovasi, ketekunan, keberuntungan, berada pada lingkungan yang tepat, adalah kata-kata yang mengalir tentang pemungkin demokratisasi dunia abad ini. Teknologi muncul memudahkan kita bekerja, menghitung, membuat laporan, menggambar, membuat video, membuat visualisasi pada lanskap dunia, dan lainnya.

Teknologi elearning muncul memudahkan belajar dapat dilakukan di mana saja, tentang apa saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Teknologi pengolahan citra dan telekomunikasi muncul membawa hiburan berupa video yang kian halus, cantik, berdefinisi tinggi, bersuara lebih indah dari aslinya.

Teknologi penyiaran muncul membawa berita dari siapa saja, saat itu juga, dari mana saja di seluruh dunia. Tidak pernah dunia menjadi sekecil ini. Kicauan/ Twit seorang anak yang kehilangan ayah awak kapal pesawat MH370 yang hilang misterius menjadi perhatian dunia.

Video sedih tentang optimisme pesawat pasti akan berlabuh, menjadi inspirasi dunia. Teknologi permainan muncul, memberi kesempatan kerja sama bagi pemain game di seluruh dunia. Dunia virtual second life muncul menjadi ruang baru di dunia maya. Sentuhan dan tambahan kompleksitas permainan membuat sebagian pengguna gamebahagia dan sebagian frustrasi seperti game Flappy Bird yang sekejap muncul, mengguncang dunia, untuk kemudian ditarik pembuatnya dari peredaran.

Teknologi jaringan sosial membuat jarak antara pemimpin dan rakyatnya hilang dan komunikasi dapat langsung terjadi saat itu juga. Saling menyapa, berbagi, dan berkomentar terjadi dengan sangat cepatnya. Gambar-gambar dan video bergerak dibagikan pada semua. Kemajuan ini menimbulkan tugas bagi para pendidik untuk mengajarkan bagaimana murid memanfaatkan waktu yang terbatas, menyaring informasi yang akan dilihat dan disebarkannya, serta sadar akan risiko tindakannya.

Sementara itu, rakyat kita yang masih tergagap dan candu pada perubahan teknologi tidak sempat untuk belajar. Jutaan orang terguncang oleh berita kemerosotan moral, pornografi, berita hangat yang digadang-gadangkan para jurnalis berbagai media, serta dampak negatif teknologi lain. Rakyat dunia terguncang mendengar spionase dan penyadapan dilakukan negara-negara adidaya. Pada 14 Maret 2014 pendiri Facebook, Zuckenberg, bahkan menelepon Presiden AS Obama untuk memprotes penyadapan yang dilakukan NSA.

Kita tidak tahu dan tidak sempat memikirkan lagi, apa artinya layanan gratis, dibandingkan kedaulatan informasi pribadi. Kita tidak bisa menentukan lagi apakah yang akan terjadi jika semua sudut kehidupan, seluruh catatan orangorang yang ditemui, setiap ucapan dan tindakan tercatat dan tidak bisa dihapus lagi. Apakah ini yang diharapkan para pendiri internet?

Pada 2000-an muncul istilah internet bubble untuk perusahaan yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi yang sahamnya tiba-tiba dijual di pasar modal dengan harga fantastis. Ini pun terjadi bulan ini dengan dibelinya aplikasi WhatsApp oleh Facebook. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa masih banyak para insinyur, teknolog, ilmuwan, yang bekerja dan terus berada dalam jalan sunyinya.

Tim Berners Lee, Linus Torvald, Mark Weizer, Dennis Ritchie, Vinton Cerf, Richard Stallman, dan Isidro Aguillo adalah contoh ilmuwan yang sangat berpengaruh pada perkembangan dunia komputer, internet, dan komunikasi, namun belum atau bahkan tidak mendapat tempat layak di panggung dunia. Mereka memilih terus bekerja, memberikan sumbangan bagi pengembangan teknologi, dan mengampanyekan sumber informasi terbuka.

Namun, mereka penuh dengan kekhawatiran pada perkembangan internet yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Internet kini ternyata tidak saja harus dijaga dari para penjahat dunia maya, namun juga terhadap penyadapan dari institusi pemerintah. Di harian Guardian, 12 Maret 2014, penemu World Wide Web, Tim Berners Lee (peneliti di CERN Swis 25 tahun lalu) mengusulkan perlunya kesepakatan seperti Magna Carta untuk internet seperti yang pernah dibuat pada 1215 di Inggris untuk membatasi hak Raja Inggris. 

Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.

Sumber: nasional.sindonews.com

Penulis : Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari, M.Sc.