VIVA – Rangkaian rak besi itu nyaris memenuhi ruang
berukuran 2x3 meter. Di atasnya, tersusun banyak benda. Mulai dari
lampu, timbangan bayi, perkakas kecil, hingga kotak kaca.
Bahkan
saking banyaknya, ada rak yang hampir menyentuh langit-langit. Kesan
sesak pun langsung menelusup. Namun karena semuanya terpendar cahaya,
jadi membuat ruang sempit ini tetap terasa lega.
"Jadi selama ini kami merakit ya di sini
saja. Paling dibantu oleh dua orang staf saya ini," ujar Raldi sembari
menyusun rangkaian kabel ke dalam sebuah kotak bening yang terbuat dari
akrilik itu.
Raldi Artono Koestoer, demikian nama lengkap pria berusia 63 tahun
ini dikenal. Ia adalah pemilik gelar profesor, yang mahfum dikenal
sebagai si pembuat kotak kaca penyelamat ribuan bayi.
Ya, lewat
karyanya yang lahir di ruang sempit itu, Guru Besar Fakultas Teknik
Universitas Indonesia inilah yang kini menjadi penyambung hidup bagi
bayi-bayi dari keluarga miskin.
Berawal dari Barang Bekas
"Lo ngerti nggak benerinnya," demikian kata itu meluncur dari mulut kakak Raldi.
Ketika itu diingatnya terjadi pada 1989, saat sang kakak membawa ke rumah sebuah inkubator rusak.
Saat itu, Raldi mengaku menyanggupi permintaan kakaknya. Namun, tak segera mengerjakannya. Bahkan ia menundanya sampai tahunan.
"Baru
di tahun 1994, saya memikirkan pernyataan kakak saya. Karena merasa
tertantang dan itu terus-terusan ada di pikiran saya," ujar Raldi kepada
VIVA, Selasa, 30 Januari 2018, mengenang awal mulanya ia membuat inkubator bayi.
Raldi
memang memahami teknologi dari inkubator atau kotak kaca untuk
penghangat bayi prematur. Namun, memang apa yang dipikirkannya tak
semudah membalik telapak tangan.
Untuk memperbaiki sebuah
inkubator rusak butuh duit banyak. Rencananya pun sempat terhambat,
lantaran alat-alat itu hanya tersedia di Inggris, Amerika Serikat, atau
Jepang.
Namun beruntung, dalam proses itu muncul kelembagaan
antarnegara yang dikenal dengan sebutan New Industrial Country (NIC).
Negara yang terdiri atas Korea, Taiwan, dan juga Hong Kong itu membuat
semacam persatuan untuk memproduksi banyak barang elektronik.
"Kami
cobalah bahan-bahan dari NIC, kami tes dan ternyata hasilnya bagus.
Plus minus 1 derajat celsius dan itu tidak jadi masalah kan," ujarnya.
Dari
situ lah Raldi pun semakin termotivasi. Idenya memperbaiki inkubator
berubah menjadi ingin membuat, tentunya dengan harga murah dan kualitas
baik.
Setidaknya, hampir tujuh tahun berproses, barulah kemudian
sebuah inkubator siap pakai pun berhasil dirakit Raldi pada 2001.
Olehnya, purwarupa inkubator itu pun dimasukkan dalam proyek Bank Dunia,
Advanced Technology Innovation.
Lewat itu, sejumlah
inkubator rakitan Raldi pun dipergunakan sejumlah rumah sakit. "Sisa
uang dari proyek itulah kemudian kami buatkan inkubator lagi. Waktu itu
dua inkubator besar. Ini yang kami pinjamkan ke masyarakat," ujarnya.
Dan
sebagai pengguna pertama inkubator rakitan Raldi adalah teman
sekolahnya yang cucunya lahir prematur. Cerita sukses itu pun
berkembang, dan membuat inkubator besar itu pun banyak digunakan yang
lain.
Namun, dalam perjalanannya, inkubator besar itu rupanya
memiliki kendala. Mengangkat kotak kaca ukuran besar itu bukan perkara
mudah untuk yang akses jalannya jelek.
Selain itu, daya listrik
yang tak semuanya mumpuni di kalangan masyarakat ikut menjadi masalah.
"Dari situ jadilah kemudian ide untuk membuat inkubator portable, yang
kecil, biar bisa leluasa. Diangkutnya gampang, dan tak banyak memakan
listrik," ujar Raldi.
Sejak itu, pengguna inkubator gratis milik
Raldi pun meluas. Para keluarga miskin yang tak mampu membayar sehari
Rp2,5 juta untuk sewa inkubator di rumah sakit sekitaran Jabodetabek,
betul-betul terbantu.
Apalagi, yang namanya inkubator untuk bayi
prematur bukan barang sebentar digunakan. "Biasanya bayi prematur itu
membutuhkan (inkubator) sampai satu bulan. Nah di kami, kami pinjamkan
gratis," ujarnya.
Siap Ditiru
Konsep peminjaman inkubator tanpa biaya yang dilakukan Raldi diakuinya
memang tanpa tendensius apa pun. Baginya, ini tak lebih sebagai sebuah
pengabdian dari keahlian yang memang dimilikinya.
"Ini namanya fardu kifayah. Karena saya berbuat sesuatu dan hanya
saya yang bisa. (Bila) semua umat ini tertolong, lepas dari dosa," ujar
pria yang mengaku sudah 10 kali naik haji ini.
Selain itu, bagi Raldi, angka kematian bayi di Indonesia yang
mencapai 25 hingga 30 bayi per hari per 1.000 kelahiran sudah begitu
menyedihkan.
Posisi itu jelas jauh lebih buruk dari Malaysia yang hanya ada
enam kematian bayi per hari, Thailand 14 bayi, dan Filipina 17 bayi per
hari per 1.000 kelahiran. Belum dibanding Jepang yang hanya 2,5 bayi
meninggal per hari.
Atas itu, Raldi pun bertekad untuk membantu menekan itu. "Nggak usah di angka 10 per hari (kematian bayi). Paling enggak mendekati tetangga. Kita bisa nggak mencapai 14 saja (kematian bayi)" ujarnya.
Sejauh ini, Raldi bersama tim berkomitmen untuk rutin membuat 10
inkubator per bulan dengan bantuan relawan yang sudah tersebar di 60
kabupaten/kota. Bahkan, ia sudah menargetkan agar bisa menjangkau
sedikitnya 300 kabupaten/kota se-Indonesia hingga 2020.
Tak cuma itu, mimpi besar yang sedang digagas adalah membangun relawan yang bisa menjangkau hingga ke luar Indonesia. "Equator belt.
Ini artinya negara sekitar ekuator. Karena iklimnya itu sama dengan
Indonesia. Jadi tidak perlu mengubah lagi inkubator (produksi) kami,"
ujar Raldi.
Dan sementara untuk mempercepat teknis perluasan jangkauan penggunaan
inkubator, Raldi menyebut telah merancang sebuah manufaktur khusus
untuk perakitan inkubator.
Terdapat tiga tempat yang akan dirancang, pertama Yogyakarta yang
kini dalam tahap uji coba. Lalu, kedua di Surabaya, Jawa Timur dan
berikutnya di Palembang, Sumatera Selatan.
Raldi pun mengaku tak mempermasalahkan jika produk yang dibuatnya
mungkin akan diduplikasi. Baginya, hal itu justru akan menjadi sebagai
bantuan baru untuk menyebarluaskan penggunaan inkubator untuk yang
membutuhkan.
"Tiru saja saya bilang. Kalau Anda bisa meniru produk ini berarti Anda hebat. Saya senang, malah akan kami ajarin," ujar Raldi.
Profesor Raldi Artono Koestoer sedang menjelaskan program peminjaman inkubator gratis, Selasa 30 Januari 2018 (VIVA/Solikhin)
Berbagi Kebaikan
Felix Leona Hidayat, pria berusia 38 tahun itu mengaku telah setahun menjadi relawan untuk Yayasan Bayi Prematur Indonesia.
Pengusaha muda ini mengaku memilih menjadi relawan semata untuk
memuaskan batin agar bisa menolong orang lain. "Saya ingin meninggalkan
kenangan manis selama hidup di dunia," ujar pria yang kini berdomisili
di Palembang ini.
Menjadi relawan yang bekerja membagiakan cuma-cuma inkubator,
sejatinya bukanlah mudah. Sebab, setiap relawan mesti memenuhi prasyarat
yang diminta oleh Profesor Raldi, seperti telah sejahtera dalam artian
tak ada masalah finansial, setidaknya memiliki kendaraan roda empat,
lalu telah menikah, dan pastinya mampu mengganti biaya produksi
inkubator.
Sebab, satu inkubator, setiap relawan harus menyiapkan uang Rp2,5
juta, dan Rp1 juta untuk lampu fototerapi. Jumlah ini sangat jauh lebih
ringan dibanding sebuah harga inkubator di pasaran yang mencapai Rp70
juta bahkan ada yang menembus Rp250 juta per unitnya.
"Dengan menjadi relawan seperti ini, saya bisa banyak membantu orang
maupun negara," kata Felix yang kini menyediakan dua inkubator gratis di
Palembang.
Selaras dengan Julius Setya Kusuma (32), pria asal Banyumas, Jawa
Tengah, yang telah empat tahun bergabung menjadi relawan inkubator,
mengaku sama dengan Felix. Bahwa yang dikerjakannya saat ini murni untuk
menolong.
Namun, berbeda dengan Felix yang menggunakan uang sendiri. Julius
menebus inkubator dari Profesor Raldi menggunakan dana yang didapat dari
para donatur dan komunitas di Banyumas. Setidaknya ada lima inkubator
yang kini dikelolanya.
Mengenai teknis peminjaman, Julius menyebut dibuat dengan sistem
sesederhana mungkin, yakni menggunakan sistem pesan singkat melalui
ponsel.
"Kirimkan data bayinya, alamatnya di mana. Atau bisa langsung ke rumah saya," ujar Julius.
Dan hebatnya lagi, bagi warga yang memang tak bisa menjemput, Julius
dan rekannya telah memiliki fasilitas ambulans gratis. Jadi cukup tunggu
di rumah, inkubator pun tiba dan bisa dipergunakan.
Sejauh ini, Julius mengaku telah ada puluhan bayi yang terbantu lewat
inkubator gratis milik mereka. Kendala yang dihadapi, paling hanya
persoalan pasokan listrik.
Sebab, di beberapa daerah kawasan Banyumas, kerap terjadi listrik
mati. Kondisi yang membuat inkubator tak berfungsi. Sedang yang lainnya
terkait dengan ketersediaan suku cadang atau sparepart, yang memang
masih menunggu pasokan dari Jakarta.
Kisah serupa juga dilontarkan Adji Parmudia. Bapak tiga anak berusia
54 tahun asal Surabaya yang telah menjadi relawan inkubator gratis sejak
pertengahan 2016 ini, juga mengaku bangga telah menebar kebaikan untuk
sesama.
Adji yang kini mengelola empat inkubator gratis di Surabaya, mengaku
bersama keluarganya begitu bersemangat ketika ada yang hendak meminjam
inkubator kepada mereka.
Perasaan dibutuhkan dari mereka yang membutuhkan, telah membuat Adji
makin termotivasi untuk berbagi. Selain itu, lewat itu juga kini Adji
dan keluarga merasa mendapat keluarga baru dari mereka yang telah
dibantunya.
"Keluarga saya jadi bertambah sekarang," ujar pria yang mengaku telah
melayani setidaknya 70 bayi yang membutuhkan inkubator tersebut.
Anak yang pernah menggunakan inkubator gratis, Faiz Permana (2,4 tahun) bersama ibunya, Siti Aminah (VIVA/M. AliWafa)
Belum Diakui Pemerintah
Sejauh ini, Indonesia memang menghadapi urusan cukup pelik terkait
kematian bayi akibat kondisi prematur. Setidaknya, saat ini ada 15
persen bayi terbelit masalah ini.
"Prematur penyebab kematian yang tinggi," kata Bendahara Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Rosalina Dewi Roeslani.
Sebab, kata Rosalina, kondisi bayi prematur atau bayi yang belum siap lahir umumnya memiliki kondisi organ yang belum utuh.
Semakin kecil usia gestasinya atau di bawah 37 minggu kehamilan, dan berat badannya, maka risiko juga semakin bertambah.
Kondisi itu juga semakin rumit ketika perawatannya. Sebab,
membutuhkan biaya yang tak sedikit. "Makin kecil dia (bayi),
perawatannya makin mahal, makin high technology. Itu tidak semua RS kita
cukup alatnya," ujar Rosalina.
Bahkan, kata Rosalina, jika pun ada peralatannya, seperti yang kini
ada di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Namun, rupanya angka kelahiran
prematurnya malah lebih tinggi. "Kita (jadinya) selalu kekurangan,"
ujarnya.
Karena itu, Rosalina pun tak menampik, perkara biaya itu juga menjadi
salah satu penyumbang kematian bayi. Sebab, rata-rata biaya mencapai
Rp10 juta per hari untuk penggunaan inkubator.
Maka ini akan menjadi sebuah masalah besar bagi bayi miskin yang
membutuhkan setidaknya satu bulan untuk perawatan intensif. Meski
sekalipun kini, pendanaan ini ditanggung pemerintah lewat Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Bisa saja kalau kemiskinan menyebabkan kematian. Soalnya dia dari awal harus sudah mendapat tata laksana yang benar," ujarnya.
Peliknya masalah kematian bayi juga diakui Kementerian Kesehatan
Indonesia. Setidaknya kini di Tanah Air menempati posisi kelima sebagai
negara tertinggi bayi yang lahir prematur.
Meski diakui belum ada angka resmi berapa kasus kelahiran bayi
prematur. Namun, setidaknya dari data survei rumah sakit ada 15 persen
bayi yang lahir prematur di Indonesia.
"Secara nasional belum ada (datanya). Intinya, bayi prematur sudah
pasti BBLR (berat bayi lahir rendah). Sedangkan bayi BBLR (di bawah
2.500 gram) belum tentu prematur," kata Direktur Kesehatan Keluarga
Kemenkes dr. Eni Gustina.
Meski begitu, Eni menyebut, secara prinsip bayi lahir prematur tidak
memerlukan perlakuan khusus. Ia hanya butuh penanganan lebih jika memang
ditemukan ada komplikasi.
"Cukup pakai metode Kanguru Mother Care. Ini bisa dipakai oleh ibu,
ayah, nenek, dan semuanya yang bisa menggendong bayi. Sayangnya, di
Indonesia susah menerapkan ini karena tidak percaya diri," ujarnya.
Padahal, kata Eni, metode itu, bisa digunakan untuk menyiasati
kebutuhan inkubator yang memang mahal. "Kecuali bayi beratnya kurang
dari 1.800 gram, ada sakit, atau penyakit lain. Tentu pakai inkubator,
tidak hanya sehari, bisa berbulan-bulan," ujarnya.
Eni mengaku mengetahui mengenai gerakan inkubator gratis yang digagas
Profesor Raldi dan relawannya. Namun demikian, ia menganggap bahwa
langkah itu tak semestinya menjadi pilihan begitu saja.
"Alat itu harus diuji dulu. Kalau sudah melewati berbagai uji keamanan, boleh diberikan pada bayi," katanya.
Atas itu, ia tak menyarankan sepenuhnya penggunaan layanan inkubator
yang telah berjalan hampir enam tahun itu. Bagi Eni, metode yang paling
aman dan standar diperlukan cukuplah menggunakan metode Kanguru Mother
Care.
Apalagi, Eni mengklaim, sejauh ini belum ada keluhan dari rumah sakit
mengenai kekurangan inkubator. "(Inkubator gratis) Tentu bermanfaat.
Tapi kalau tidak terlalu butuh, tidak perlu pakai ini," katanya.
Atas itu, ia menyarankan kepada sejumlah relawan penyedia inkubator
gratis untuk berkoordinasi dengan pemerintah. Sebab, selama ini
pemerintah tak pernah dilibatkan dengan inisiasi tersebut.
"Jangan sampai nanti ada komplikasi, baru ramai. Padahal kami sama sekali tidak dilibatkan," katanya.
Terlepas itu, Profesor Raldi kini telah menyelamatkan sedikitnya
2.000 bayi di Indonesia lewat inkubator gratis. Memang, dia mengakui
tidak memiliki keterkaitan dengan pemerintah.
Ia memastikan bahwa yang dijalankannya saat ini seluruhnya murni
swadaya dan terbangun dari keinginan untuk berbagai kebaikan kepada
sesama tanpa pamrih.
Lagi pula, apa yang kini dibangunnya bukanlah bertujuan untuk
berbisnis dan meraup untung. Berbicara paten, memang perlu, namun itu
jauh tak berguna bagi orang yang tidak mampu dan membutuhkan pertolongan
inkubator gratis.
"Paten itu hanya untuk orang-orang kelas atas saja. Orang bawah mana ada yang menanyakan itu? Kita punya knowledge (pengetahuan membuat inkubator), berkewajiban memberikan pengetahuan kepada mereka," ujar Raldi. (art)
Sumber: https://www.viva.co.id/indepth/sorot/1003298-kotak-kaca-penyambung-nyawa