27/12/2016 16:30 Authored By: Administrator
JAKARTA - Ironi, alokasi pasokan gas bumi untuk dalam negeri (domestik) mencapai 57 persen atau setara 4,016 miliar british thermal unit per hari (BBTUD). Anehnya, meski porsi domestik kian besar, di lapangan, serapannya masih seret.
Tengok saja, mengacu data SKK Migas tahun 2015 untuk sektor listrik dari alokasi gas sebesar 1.273,23 bbtud, hanya dipakai 939.11 bbtud. Industri dengan alokasi 1.560,91 bbtud hanya menyerap 1.263,17 bbtud.
Sementara pupuk yang diberikan jatah 796,96 bbtud hanya dimanfaatkan sebanyak 737,46 bbtud. Alokasi untuk PLN 14 kargo hanya terserap 11 kargo.
Pakar kebijakan energi dari Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa menilai, rendahnya serapan pasokan gas di dalam negeri terjadi karena minimnya infrastruktur penyaluran distribusi gas. "Solusinya pemerintah harus terus mendorong infrastruktur penyaluran gas," tegas Iwa, Kamis (28/7).
Perihal ekspor gas alam cair (LNG) yang masih tinggi, mencapai 1,989 BBTUD (29,10 persen), sementara serapan LNG domestik hanya 403,79 BBTUD (5,91 persen), menurut Iwa, disebabkan beberapa faktor bisa karena ada kontrak jangka panjang, juga disebabkan tidak meratanya fasilitas infrastruktur penerimaan LNG.
Contoh, LNG yang tersedia di Tangguh, belum bisa dikirim ke Papua atau Merauke karena infrastruktur yang tidak mendukung.
Iwa mengingatkan, sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur yang tidak merata, maka harus dibuat dan dipersiapkan beragam transportasi penyaluran gas, tidak hanya mengandalkan pipa supaya gas yang ada di wilayah timur bisa tersalurkan merata.
"Jangan lagi, kebijakan terus berfokus pada minyak alias bahan bakar minyak," tegasnya.
Menurut Iwa potensi besar LNG alias gas alam, harus terus didorong oleh pemerintah dan tidak semata-mata untuk kepentingan pendapatan negara saja dengan mengekspor. "Harus berpikir, energi bukan semata komoditas tapi dari penguatan ekonomi, infrastruktur," katanya.
Jika dibandingkan diesel, penggunaan gas untuk kapasitas 100 MW akan menghemat Rp 2 triliun per tahun. Kalau 200 MW akan menghemat Rp 4 triliun per tahun dengan harga gas sekarang.
Nah, dari 90 persen gas yang diekspor sekarang hanya 60 persen yang digunakan ekspor. Ada 30 persen yang menganggur. Tapi 30 persen ini untaken alias tak terpakai. Jika buyer luar negeri membutuhkan maka diambil lagi.
"Ketidakstabilan penyediaan gas ini menyebabkan konsumen selalu was-was dengan model kontrak gas yang tidak pasti ini. Hal ini melahirkan kontrak-kontrak jangka pendek," ucap Iwa.(Yudho Winarto)
Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.
Sumber: tribunnews.com