rpm-ftui

27/12/2016 16:00 Authored By: Administrator

Wilayahnya jauh dari pusat kota dan tepat berada di pesisir pantai Laut Jawa. Itulah sedikit gambaran tentang Kampung Bungin, Desa Pantai Bakti, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.

Akses yang cukup sulit dan memakan waktu lama membuat desa itu kerap mengalami pemadaman listrik dalam waktu cukup lama. Apalagi jika memasuki musim penghujan, bisa sampai satu minggu warga sekitar tidak bisa menggunakan energi listrik yang disalurkan perusahaan negara.

Di balik kendala listrik, desa itu memiliki potensi yang tidak dimiliki dae­rah lain. Ya, Kampung Bungin memiliki sumber angin yang banyak dan belum termanfaatkan. Melihat hal tersebut, Head of Fluid and Thermodinamycs Research Center, Tropical Renewable Energy Center (TREC), Adi Surjosatyo segera mengaplikasikan idenya untuk membangun turbin angin sekaligus instalasi penyaluran energi listriknya. September 2014, tiang turbin angin beserta instalasinya terpasang dengan bantuan ruang penyimpanan baterai di rumah ketua rukun tetangga (RT) setempat, Basir.

“Ada saja angin, mungkin karena di pesisir dan tidak terlindung sehingga laju angin cukup besar. Kalau ba­terainya enggak lemah, bisa dipakai terus energi listriknya, tetapi kalau tegangannya sudah mencapai angka 20 volt, saya charge dulu hingga 10 jam,” kata Ketua RT 01 Kampung Bungin, Basir, saat dihubungi melalui telepon dengan suara gemuruh angin yang cukup besar, Kamis (30/7).

Sebelumnya, energi listrik yang tersimpan pada baterai akan disalurkan ke rumah menggunakan inverter. Namun, karena masih dalam skala kecil, hanya rumah Basir dan dua tetangga lain yang mendapat aliran listrik, ditambah dengan dua lampu penerangan jalan.

Basir mengaku sangat terbantu oleh energi baru terbarukan itu dan berharap agar masuk turbin angin dengan skala lebih besar lagi. Pekerjaan warga yang sebagian besar nelayan butuh melakukan pengisian ulang baterai kapal.

Kecepatan angin di Kampung Bungin yang mencapai angka 12 meter per detik membuat Adi yakin untuk memanfaatkannya menjadi energi listrik. Dua tahun mondar-mandir mengurusi kemantapan teknologi tersebut menghasilkan satu simpulan, tak hanya eksekusi tetapi juga perawatan dan juga pelayanan harus tetap diperhatikan.

Adi yang kini dibantu Andrie Novera dari Research Center for Climate Change (RSCCC) Universitas Indonesia (UI) ingin mengembangkan turbin angin lainnya dengan dana bantuan yang didapat dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).

“Kira-kira pasang sekitar empat tower lagi dan penempatannya dicoba yang agak jauh dari permukiman. Kalau sekarang ini, kapasitas energi listrik yang didapat 500 wattpeak (saat maksimum). Ingin berikan terang lebih banyak. Bentangan instalasi listrik mungkin bisa sampai jarak 15 meter,” tukas Adi.

Tak sekadar memberi jalan keluar, pihaknya yang juga bekerja sama dengan dua lembaga lainnya ingin memberikan efek domino bagi masyarakat sekitar. Salah satunya dengan penyebarluasan keterampilan teknologi sehingga masyarakat sekitar mampu mengawasi dan memberikan perawatan kepada aset tersebut. Saat kapasitas yang dihasilkan lebih besar, dapat membantu ketersediaan energi yang digunakan nelayan saat melaut.

Teknologi yang dikembangkan UI itu rupanya banyak dilirik pemerintah daerah, salah satunya dari Timor Tengah Selatan yang tertarik me­ngumpulkan angin di wilayah mereka supaya bisa membuat masyarakat sekitar menjadi produktif.

“Energi alternatif itu kan sebenarnya melihat kearifan lokal yang lalu diolah menjadi lebih bermanfaat,” tambah Andrie.

Terlebih teknologi itu tidak membutuhkan perawatan yang rumit. Hanya berupa pengecekan untuk mengetahui kelayakan tiang menara yang dapat dilakukan sebulan sekali. (Wnd/M-3)

Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.

Sumber: mediaindonesia.com

Penulis: Prof. Dr. Ir. Adi Surjosatyo, M.Eng.