rpm-ftui

27/12/2016 15:03 Authored By: Administrator

Di tengah kesibukan mengawali proyek rehabilitasi MCK Kobak Kampung Cikini, Anwar mendapati urukan tanah sudah membumbung tinggi sementara dia tahu persis bahwa masalah pondasi dan pemipaan belum dipikirkan dengan matang. Menghadapi kebingungan Anwar, Pak Salim pemborong lokal warga Cikini langsung menenangkan dengan menyatakan ia sudah memiliki metode tersendiri. Warga sekitar pun tak urung ikut berkomentar. “50 cm gak ketinggian tuh” ujar salah seorang warga. Belum usai perdebatan mengenai ketinggian urukan, datang pak Legi, warga pemilik kandang yang selama ini menempati sudut belakang MCK. Rupanya dia masih berharap ada upaya yang bisa dilakukan agar kandang ayamnya tetap dipertahankan dan tidak tergusur. Semakin hari semakin banyak masukan datang, yang entah harus ditanggapi atau tidak.

Situasi tersebut merupakan pemandangan sehari-hari selama kurang lebih empat bulan pengerjaan renovasi MCK Kobak RT 14/RW 01 Kampung Cikini Kelurahan Pegangsaan Jakarta. Kegiatan community engagement ini didanai Direktorat Riset dan Pengabdian MAsyarakat Universitas Indonesia, dipimpin oleh dosen Arsitektur UI Evawani Ellisa. Anwar Bahir yang baru lulus sarjana Arsitektur sehari-hari bertugas sebagai arsitek sekaligus pengawas jalannya pembangunan. Sesuai dengan prinsip arsitektur untuk komunitas, renovasi MCK dilakukan dengan tetap mengikuti tatanan budaya masyarakat setempat dan melibatkan warga. Terlepas dari kebingungan dalam menyikapi reaksi warga saat bepartisipasi dalam proses pembangunan, komentar-komentar warga merupakan cerminan tatanan budaya masyarakat setempat yang patut didengar dan dipahami.

Mempelajari tatanan budaya Kampung Cikini melalui MCK bukanlah sesuatu yang aneh. MCK tidak hanya sekedar wadah yang menaungi aktivitas hajat hidup sehari-hari dalam urusan mandi-cuci-kakus, tetapi juga merupakan bagian dari interaksi sosial antar warga. Simak definisi MCK menurut Badan Standarisasi Nasional, yaitu “fasilitas umum yang digunakan secara komunal untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air di lingkungan pemukiman padat penduduk”. Definisi ini perlu digarisbawahi pada kata ‘komunal’ dan ‘pemukiman padat penduduk’. Bila diletakkan pada konteks Kampung Cikini yang merupakan kampung urban, membicarakan MCK yang digunakan beramai-ramai secara tak langsung juga membicarakan kebiasaan perilaku masyarakat dalam berkomunitas.

Mengutip Funo, profesor Jepang yang bertahun-tahun menekuni kampung, sistem sebagai sebuah komunitas yang mandiri. Penduduk kampung yang hidup dalam serba keterbatasan ekonomi, ruang aktivitas, fasilitas umum, maupun aspek kehidupan maupun nilai-nilai sosial yang berlaku di kampung adalah ciri kuat yang menandai karakter kampung lainnya, dalam pergulatan keseharian di kampung padat terpaksa harus berimprovisasi dengan keadaan lingkungan yang serba terbatas pula.


Kembali pada konteks Kampung Cikini, MCK Kobak merupakan perwujudan dari improvisasi masyarakat RT 14 dan sekitarnya. MCK yang didirikan sekitar tahun 1960 ini telah beberapa kali mengalami renovasi, hingga terakhir pada tahun 2012 warga berinisiatif untuk mengembangkan MCK dengan menambahkan fungsi balai warga di lantai dua.

Kondisi MCK sebelum direhabilitasi oleh tim UI ini sangat jauh dari layak. Orang yang terbiasa mandi di toilet pribadi tentu akan sulit membayangkan bagaimana ia harus buang air dan mandi di MCK ini. Pertama, tidak ada ruang kakus kecuali sebuah lubang seadanya yang berfungsi sebagai kakus. Kedua, ruang mandi sekaligus berfungsi sebagai ruang cuci. Ketiga, bukaan yang langsung berhadapan dengan ruang luar hanya ada pada satu sisi bangunan, menyebabkan ruangan menjadi gelap dan lembab. Terakhir, jangan heran apabila hasil buangan air besar mengambang di sungai belakang MCK karena memang kakus darurat dibuat tanpa septic tank. Satu-satunya hal yang patut disyukuri adalah setidaknya area pria dan wanita dipisah.

Tetapi harus kembali disadari bahwa kita berbicara dalam konteks kampung, di mana segala tatanan yang dianggap normal dapat diimprovisasi asal seluruh warga sepakat. Berdasar pengamatan Anwar terhadap sebagian besar MCK yang ada di kampong Cikini, disimpulkan bahwa warga dapat dengan mudah berbagi ruang untuk melakukan kegiatan-kegiatan privatnya.

Saat pengamatan bagaimana MCK di kampung digunakan, Anwar sempat mendengar pembicaraan ibu-ibu yang hendak mencuci di MCK dan menemukan bahwa ada orang lain yang sedang mandi. Tak diduga, respon yang diberikan ibu tersebut amat sederhana. “Eh, sedang mandi, Bu?” dan kemudian terjadi perbincangan panjang antara kedua ibu tersebut. Sebuah respon yang menunjukkan kondisi yang tak biasa bagi kita, mandi sambil mengobrol dengan orang lain – tergenangi air cucian pula.

Pada dasarnya, pusat dari kegiatan di dalam MCK adalah sumur. Apabila hanya ada satu pengguna, maka aktivitas akan terpusat pada sekitar sumur. Namun bila ada lebih dari satu pengguna, mereka akan melakukan penyesuaian terhadap pembagian area, seperti area mandi yang paling dekat dengan sumur, dilanjutkan dengan area cuci dan area buang air.


Selain keunikan dalam membentuk ruang personal, penyesuaian warga dalam penggunaan MCK Kobak juga dapat terlihat dari cara warga memisahkan area laki-laki dan perempuan. Golongan laki-laki hanya menggunakan MCK untuk buang air dan mandi, sementara wanita perlu area yang cukup luas untuk mencuci. Terdapat juga perbedaan durasi; laki-laki hanya membutuhkan waktu 10-15 menit untuk menyelesaikan urusannya, sementara perempuan, khususnya ibu-ibu, bisa bertahan di dalam MCK hingga dua jam karena harus mencuci dan memandikan anak. Beberda dengan laki-laki, wanita yang lebih suka ngobrol dan “bergosip” menyebabkan mereka betah dan cenderung berlama-lama di MCK. Hal-hal seperti inilah yang kemudian menjadi pertimbangan dalam merancang kembali MCK Kobak. Area perempuan dibuat lebih besar dengan ukuran 2.3 x 4.1 meter atau hampir dua kali lebih besar dari area laki-laki yang hanya berukuran 1.75 x 2.5 meter.

Tim desain rehabilitasi MCK Kobak sangat mempertimbangkan faktor budaya dalam menata kembali ruang MCK yang ada. Selain meningkatkan kualitas sanitasi, pencahayaan, dan penghawaan, tatanan ruang disesuaikan agar warga tidak merasa asing ketika menggunakan MCK yang baru. Selama proses desain, terjadi banyak diskusi dan silang pendapat, baik antar warga dengan tim desain maupun antar warga dengan warga. Ketika pembangunan sudah berjalan pun masih harus dilakukan pertemuan khusus antara tim UI dengan warga untuk membahas penyelesaian MCK termasuk pengerjaan lantai dua. Pembangunan baru bisa dilanjutkan setelah terjadi kesepakatan.


Tatanan ruang MCK Kobak yang baru, pada akhirnya perlu sedikit diintervensi agar menjadi lebih layak sehingga hasil akhirnya memang tidak sepenuhnya merepresentasikan keluguan maupun budaya masyarakat kampung Cikini. Tetapi adalah nyata, bahwa keputusan-keputusan disain yang dibuat tim UI bersama warga, merupakan perpanjangan dari kebiasaan yang, diakui maupun tidak, telah mereka sepakati bersama. Persis seperti penuturan Rapoport: “In making choices, certain values, norms, criteria, and assumptions are used. These are often embodied in ideal schemata: built environments and the life they enclose all, in some way, reflect and encode these schemata - however imperfectly.”
Tentu tidak semua hal buruk yang selama ini berlaku tetap dipertahankan. Misalnya dari semula wujud kakus yang hanya berupa lubang yang langsung terhubung ke sungai, di rancangan MCK yang baru tim UI menyediakan ruang kakus yang terpisah. Di samping kanan dan kiri bangunan yang berbatasan langsung dengan rumah warga disisakan lorong yang dibuarkan kosong, untuk memungkinkan cahaya dan udara leluasa masuk ke dalam area MCK.

Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.

Sumber: www.kompasiana.com