rpm-ftui

27/12/2016 14:27 Authored By: Administrator

Teknologi Mini Terminal LNG di Benoa, Bali, yang diresmikan Presiden Jokowi pada 11 Juni lalu mampu membantu pemerintah menghemat anggaran hingga Rp1,2 triliun per tahun. Itulah manfaat dari konversi bahan bakar solar dengan menggunakan gas yang mampu menghemat biaya untuk pembangkit listrik berkapasitas 200 megawatt (mw).

Kepala Pusat Kajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa mengatakan, dengan penghematan sebesar itu, maka akan ada penghematan ekonomi yang lebih besar dalam program listrik 35.000 mw ini. Oleh karena itu, Iwa menilai agar PT PLN (Persero) untuk lebih terbuka terhadap berbagai pilihan sumber pembangkit listrik sehingga tidak terus bergantung ke batu bara atau bahan bakar minyak.

"Betul sekali PLN harus terbuka menerima apapun bahan bakar pembangkitnya karena PLN sebagai operator dapat penugasan oleh Negara dalam melistriki nasional. Di samping itu PLN juga harus mengikuti perkembangan teknologi pembangkitan," ujar Iwa, melalui keterangan resminya di Jakarta, Kamis (30/6/2016).

Iwa setuju bila PLN menggunakan floating storage regasification unit (FSRU) atau yang lebih murah seperti, floating facility untuk mini receiving LNG. Mini receivingberkapasitas 50 mmscfd (million metric standard cubic feet per day) ini dapat menyuplai gas untuk pembangkit listik berkapasitas 200 mw. Teknologi mini receiving pengerjaannya lebih cepat, lebih murah, dan tentu saja efisien.

"PLN harus memikirkan memilih pembangkit listrik murah sehingga tarif dasar listrik terjangkau masyarakat dan ada serta andal," tuturnya.

PLN juga wajib mendukung sikap Presiden Jokowi yang juga sudah memberi dukungan dengan penggunaan energi ramah lingkungan. PLN juga bisa menerapkan mini receiving LNG untuk PLTGU yang sekarang tengah dikebut pengerjaannya, yakni di Gorontalo, Pontianak, dan Bangka.

"Penggunaan gas jelas lebih ramah lingkungan ketimbang menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara. Karena pemerintah juga sudah turut tanda tangan tentang ramah lingkungan," sambungnya.

Sementara itu, Pengamat Energi sekaligus Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Yogyakarta Fahmy Radhi meminta pemerintah menyusun insentif swasta yang mampu menyiapkan teknologi untuk mendukung tersedianya pasokan listrik, termasuk FSRU.

"Kalau teknologi FSRU efisien akan terjadi penghematan besar, saya kira swasta harus masuk juga. Kita tidak bisa mengandalkan pemerintah saja, kalau ada teknologi itu harus didorong bahkan kalau ada swasta masuk diberi insentif," pungkas dia.

Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa.

Sumber: ekonomi.metrotvnews.com