rpm-ftui

27/12/2016 10:23 Authored By: Administrator

Evawani Ellisa adalah dosen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Gajahmada, lalu melanjutkan S2 (1996) dan S3 (1999) di Osaka University dengan disertasi tentang transformasi kota-kota besar di Indonesia. Kepakarannya sesuai dengan ilmu yang diperolehnya di Jepang yaitu perancangan kota. Wawasan tentang kota selalu diasahnya dengan cara berkunjung ke banyak tempat dan kota, baik di dalam maupun di luar negeri, suatu hal yang menurutnya merupakan momen yang sangat menyenangkan dalam hidupnya. Kesempatan itu dia peroleh terutama di saat-saat perjalanan dinas yang rutin dilakukannya selama ini.

Konsisten dengan Kampung

Ellisa melakukan kegiatan pengabdian sekaligus penelitian di Kampung padat Cikini sejak tahun 2011. Setiap tahun, ia melakukan koordinasi dengan Prof Akiko Okabe (Tokyo University) untuk menggalang mahasiswa UI dan mahasiswa Jepang melakukan kegiatan “Megacity Joint Studio Workshop” di kampung Cikini dengan mengambil thema yang berbeda-beda. Beberapa fasilitas umum juga dibangun bersama –sama dalam bentuk proyek kolaborasi yang dikerjakan melalui share dana dan kegiatan. Dalam pandangannya, persoalan multi dimensi yang dihadapi kampung padat telah menjadikan kampung sebagai salah satu laboratorium kota yang tak habis-habisnya diteliti. Solusi persoalan kampung bahkan bisa menjadi salah satu model penyelesaian masalah yang dihadapi kota-kota raksasa (megacities) di belahan lain dunia, terutama kota besar dalam category “late comer megacity” seperti Jakarta. Setelah hampir 6 tahun konsisten menekuni kampung, ia menyadari akan fakta bahwa penyelesaian arsitektural (fisik) saja tidak cukup. Dibutuhkan rekayasa sosial untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi warga kampung, sesuatu hal yang diakuinya bukan menjadi keahliannya. Karena itu Ellisa sejak tahun 2015 mencoba mengajak para pakar di bidang sosial untuk ikut terjun ke kampung dan menyelami berbagai persoalan sosial yang dihadapi warga kampung.

Hasil rangkaian proyek kolaborasi yang dikoordinir Ellisa bersama tim Jepang bisa dilihat di berbagai fasilitas umum yang berdiri di kampung Cikini, seperti rumah pintar dan MCK. Selain itu juga dapat dilihat jejak-jejak kegiatan workshop dalam bentuk instalasi seperti ayunan di atas sungai Keroncong (Yellow Swing) dan instalasi serta jalur prosesi pernikahan pasangan Jepang (yaitu Kazuki, mahasiswa Chiba University yang dulu pernah tinggal untuk mengawasi proyek pembangunan di Cikini). Pesta diselenggarakan bersama warga di sepanjang jalur inspeksi Kali Ciliwung.

Ellisa merasa bahwa keterlibatan mahasiswa Jepang dalam membangun fasilitas umum di kampung Cikini menjadi salah satu kunci sukses. Gaya pendekatan orang Jepang yang berusaha membaur dengan masyarakat mampu menarik perhatian warga, terutama anak-anak. Tak heran bila setiap tahun selalu ada mahasiswa pasca sarjana dari Jepang yang tinggal di kampung Cikini untuk keperluan riset dengan kasus kampung Cikini sebagai topik thesis mereka.

Alasan untuk belajar di Jepang

Ellisa menyatakan bahwa sebagai seorang dosen, menuntut ilmu hingga ke jenjang doctoral adalah sebuah kewajiban. Awalnya ia mencoba mencari beasiswa di berbagai negara seperti Australia dan Amerika. Sangat kebetulan bahwa Jepang adalah negara yang paling awal menyodorkan beasiswa. Peluang itu diambilnya, walaupun pada saat itu masih belum banyak informasi tentang belajar di negeri Sakura ini. Banyak orang yang mempertanyakan pilihannya untuk belajar di Jepang, terutama mengingat kendala bahasa Jepang yang mau tidak mau harus dia hadapi sebagai mahasiswi asing. Namun ia sudah memutuskan pilihan dan bertekad untuk menimba ilmu di Jepang. Tentu bukan suatu hal mudah untuk menempuh jenjang pendidikan lanjutan di universitas, sementara di saat yang sama harus mendalami bahasa Jepang.

Setelah (total) 8 tahun tinggal di Jepang, Ellisa merasa kemampuan bahasa Jepang nya masih jauh dari sempurna dan masih merasa wajib untuk terus belajar. Namun yang menarik, Ellisa merasa beruntung memiliki guru kecil belajar bahasa Jepang. Siapakah dia? Tak lain adalah Mirza, putra semata wayangnya, yang bersamanya ikut ke Jepang. Pada saat itu, suami Ellisa yang tinggal di Indonesia mengijinkannya membawa serta Mirza untuk tinggal di Jepang. Menurutnya Mirza lebih fasih berbahasa Jepang karena usianya yang masih sangat belia. Mirza pun dimasukkan ke SD local di Osaka dan secara alami mendalami bahasa Jepang dengan cara berbaur dan belajar bersama teman-teman sekolahnya. Pendidikan dasar SD Jepang ditempuh dari kelas 1 hingga kelas 3. Sekembali ke Indonesia, saat menempuh pendidikan tinggi Mirza akhirnya mengikuti jejak ibunya belajar arsitektur di Universitas Indonesia. Tahun depan ia berencana untuk melanjutkan studi Master di bawah bimbingan prof Taro Igarashi di Tohoku University.

Ketika ditanya pendapatnya tentang kota Jepang, Ellisa menggambarkan kota-kota di Jepang sebagai "kota yang menampilkan kekacauan, namun sebetulnya di baliknya terdapat keteraturan (order behind cheos)". Hal ini ditunjukkan oleh kota-kota Jepang yang memiliki infra struktur yang baik, yang terjaga kebersihannya, dengan warga kota yang tertib dan taat aturan. Dari hasil pengamatannya, ia melihat bagaimana orang Jepang bisa merasa nyaman dan aman berada di manapun, walaupun menurutnya, secara sepintas, kota-kota Jepang banyak yang menampilkan lansekap kota yang monoton. Namun begitu dijelajahi, segera akan ditemukan sudut-sudut dan detail detail bagian maupun elemen kota yang sangat menarik. Ketika ditanya kota Jepang mana yang paling disukai, Ellisa menyatakan sulit menjawabnya. Dia menyukai Tokyo yang sangat cosmopolitan dan dinamis, tetapi juga menyukai kota Kyoto yang elegan dan damai.

Jakarta, kota yang sulit diprediksi

Berbagai persoalan yang dihadapi kota Jakarta sebagai “megacity” menurutnya telah menarik perhatian para peneliti asing untuk datang dan menjajagi kemungkinan bersama-sama melakukan kajian tentang masalah perkotaan. Saat ini masalah yang menurutnya paling pelik adalah kemacetan. Namun ada sebuah phenomena menarik yang dia amati. Misalnya banyak anak muda yang tertarik untuk menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi, sebab untuk rute-rute macet, sepeda ternyata memiliki waktu tempuh yang lebih pendek dibanding kendaraan bermotor, seperti yang sering dibuktikan oleh Mirza anaknya. Beberapa karyawan muda yang bekerja di CBD Jakarta mengakali kemacetan dengan cara pulang ke rumah sambil berolahraga jogging menuju ke tempat parkir mobil yang sengaja di parkir di tempat yang berjauhan dari kantor. Yang lain sengaja menghabiskan waktu di gym atau bekerja di café sambil menunggu kemacetan mereda sebelum pulang ke rumah. Menurutnya menarik mengamati bagaimana kalangan generasi muda kini memiliki cara dan orientasi yang berbeda dalam menyikapi berbagai kendala urban, di tengah-tengah kehidupan kota Jakarta yang sarat masalah dan jauh dari nyaman. 

Ketika ditanya tentang masa depan Jakarta, Ellisa menyatakan bahwa sulit untuk membuat prediksi tentang Jakarta. Jakarta kota multi etnis dan multi agama. Jenjang ekonomi warga Jakarta juga sangat jauh, banyak warga Jakarta yang masuk kategori orang sangat kaya, namun masih banyak juga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Walaupun menyimpan banyak persoalan, bukan berarti Ellisa merasa pesimis, sebaliknya dia justru menganggap Jakarta sebagai kota yang penuh tantangan.

Ingin menerbitkan buku

Sebagai dosen, saat ini Ellisa hanya focus kepada kegiatan penelitian dan pengajaran, yang menurutnya cukup menyita waktu, namun menyenangkan. Belakangan ia tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan proses pembentukan kota Jakarta, suatu hal yang menurutnya sangat penting sebelum memahami kota Jakarta saat ini. Menurutnya belum banyak orang yang secara utuh dan komprehensif mengkaji Jakarta. Keinginannya yang cukup besar namun belum terlaksana adalah menerbitkan buku. Ketika ditanya apakah banyak buku tentang arsitektur di Indonesia, jawabnya: belum sebanyak di Jepang. Di Indonesia, buku tentang arsitektur sedikit karena para pelaku bidang arsitektur lebih berorientasi kepada berkarya. Tidak banyak yang mencoba upaya mendokumentasikan karya atau proses kreatif berrsitektur dalam bentuk publikasi atau buku seperti di Jepang. Selain itu menulis buku tentang arsitektur di sini bukanlah hal yang mudah, terutama karena perlu memastikan apakah orang memang akan tertarik untuk membaca buku yang ingin kita terbitkan. Walaupun demikian, sebagai pendidik, Ellisa memiliki harapan yang besar terhadap anak didiknya. Ia meyakini bahwa ke depan generasi muda akan membawa perubahan menuju Indonesia yang lebih baik (Editor dalam bahasa Jepang Masayuki Tada).

Artikel yang dimuat dalam web ini adalah bagian dari Program Insentif Promosi Penelitian dan Pengabdian Masyarakat oleh Dosen FTUI di Media Massa. 

Sumber: http://www.nna.jp